PERGERAKAN NASIONAL SAREKAT ISLAM (SI)
Awal Pendirian Sarekat
Islam (SI)
Terdapat
banyak versi sejarah mengenai kapan Sarekat Islam berdiri. Perlu diketahui
sebelum menjadi Sarekat Islam, nama awal dari organisasi ini adalah Sarekat
Dagang Islam. Versi pertama yang mengemukakan Sarekat Islam berdiri pada
tanggal 16 Oktober 1905 yang dipelopori oleh Haji Samanhudi di Solo. Versi
Mohammad Hatta yang mengatakan Sarekat Islam lahir di Jakarta, pada tahun 1909
yang diprakarsai oleh Raden Mas Tirto Adisuryo kemudian sarekat dagang Islam
didirikan pula di Bogor pada tahun 1911. Terdapat versi lain yang menyatakan
sarekat Islam berdiri pada tanggal 10 September 1912, versi ini yang paling
banyak dipakai sejarawan baik lokal ataupun luar.
Maka
untuk mencari kejelasan kapan Sarekat Islam berdiri, penulis mencoba menelusuri
sumber-sumber yang berkaitan dengan pendirian Sarekat Islam. jika melihat dari
versi yang paling banyak digunakan oleh para sejarawan Indonesia dan Belanda,
mereka berdasar pada hari lahir yang diperingati setiap tahun oleh Partai
Sarekat Islam Indonesia yaitu 10 September 1912. Penetapan tanggal tersebut
sendiri didasarkan pada pengesahan pemerintah Belanda, setelah Tjokroaminoto
pada tanggal tersebut menghadap Notaris B. Ter Kuile di Solo.
Sekarang
kita mencoba untuk menyelidiki versi pendirian yang paling awal dari Sarekat
Islam. Penulis mendapatkan sumber yang sangat menarik, sumber yang berdasarkan
wawancara langsung yang dilakukan oleh Tamar Jaya dengan pendiri Sarekat Islam
Haji Samanhudi yang dimuat dalam majalah Ilmu Politik Islam “Assiyasah”, no.5
April 1974. Wawancara ini dilaksanakan di rumah Raden Gunawan Kramat II
Jakarta, pada tanggal 25 Juni 1955 ketika Haji Samanhudi sedang berkunjung ke
Jakarta untuk menghadiri peringatan setengah abad hari pergerakan Islam. Saat
itu Haji Samanhudi berusia 87 tahun, dia memberikan penjelasan kepada Tamar
Jaya bahwa Sarekat Dagang Islam sesungguhnya didirikan pada tanggal 6 Oktober
1905 di Solo. Berikut pernyataan dari Haji Samanhudi:
Dengan
Ikhlas, untuk kemurnian sejarah pergerakan Indonesia, dengan ini saya terangkan
bahwa SDI dilahirkan pada tanggal 16 Oktober 1905 di rumah saya di kampung
Sondakan Solo dengan delapan orang teman, yaitu: Saudara Sumawardoyo,
Wiryotirto, Suwandi, Suropranoto, Jarmani, Harjosumarto, Sukir, dan
Martodikoro.
Nama-nama
yang disebut di atas adalah panitia pertama pendirian tersebut. Kemudian
setelah memperoleh kesepakatan pendirian Sarekat Dagang Islam, maka terbentuk
kepenguruasan seperti berikut:
Ketua:
Haji Samanhudi
Penulis
I: Sumowardoyo
Penulis
II: Sukir
Pembantu:
Jamal Surodisastro
Pembantu
keuangan: Sukir dan Haji Saleh
Pembantu
I: Harjosumarto
Pembantu
II: Wiryosutirto
Pembantu
III: Atmo
Haji
Samanhudi pada wawancara tersebut juga menjelaskan tentang perubahan Nama
Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam, Samanhudi mengemukakan sebagai
berikut:
Ketika
kongres pertama Sarekat Dagang Islam di Solo tahun 1906, nama Sarekat Dagang
Islam ditukar menjadi Sarekat Islam (SI), dan dengan demikian berubah pulalah
susunan pengurus seperti berikut:
Ketua:
Haji Samanhudi
Peningmeester:
Harjosumarto
Pembantu:
Kartoatmojo, Kartowiharjo
Sekretaris
I: Surati
Sekretaris
II: Haji Hisyam Zaini
Komisaris:
H. Syarif, H. Syakur, Esmuntani, Mangunprawiro, Abdul Fatah, Cokrosumarto, Tondonagoro,
dan Suto Sumarto.
Dari
wawancara dengan pendiri Sarekat Islam tersebut dapat diketemukan suatu
kebenaran mengenai kapan lahirnya Sarekat Islam, yaitu pada tanggal 16 Oktober
1905. Tahun 1912 sendiri adalah tahun dimana Sarekat Islam diresmikan melalui
notaris dan mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda. Hari lahir
Sarekat Dagang Islam sendiri dipandang sebagai permulaan perjuangan pergerakan
Islam di Indonesia.
Pada
tahun 1956, Kongres Muballigh Islam Indonesia di Medan pernah mengajukan
resolusi kepada pemerintah, untuk menjadikan 16 Oktober sebagai hari pergerakan
nasional, dan kemudian berdasarkan rapat Masyumi di kota Padang mengajukan
resolusi serupa kepada pemerintah. Meskipun resolusi tersebut tidak diterima
oleh pemerintah, dan lebih memilih menetapkan hari lahir Budi Utomo sebagai
penandan kebangkitan nasional.
Prinsip Dasar Sarekat Islam
Sejak
Sarekat Dagang Islam didirikan pada 16 Oktober 1905 di Solo, dan kemudian
diresmikan melalui notaris pada tanggal 10 September 1912, Sarekat Islam telah
meletakkan dasar perjuangan atas tiga prinsip, yaitu:
- Asas agama Islam sebagai dasar perjuangan organisasi
- Asas kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi
- Asas sosial ekonomi sebagai usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.
Selanjutnya
dari ketiga asas dasar Sarekat Islam, dapat diperoleh alasan penetapan
ketiganya. Pertama, asas agama Islam, berdasarkan pernyataan langsung dari HOS.
Tjokroaminoto alasan pengambilan asas agama Islam dalam dasar Sarekat Islam
adalah sebagai berikut “Memang Sarekat Islam memakai nama agama sebagai ikatan
persatuan bangsa, buat mencapai cita-cita sebenarnya, dan agama tidak akan
menghambat tujuan itu.”
Founding
father Sarekat Islam pada dasarnya sudah menyadari bahwa penjajah tidak dapat
dihancurkan kecuali dengan iman dan takwa kepada Allah. Oleh karena itu umat
Islam harus dipersatukan untuk memelihara kehormatan dan harga diri mereka.
Umat Islam harus dihimpun dalam satu wadah demi memelihara harga diri mereka
sendiri, dan membebaskan diri dari perbudakan Belanda.
Kedua,
asas kerakyatan, penderitaan yang dialami oleh seluruh lapisan rakyat akibat
kekejaman Belanda, menjadi salah satu alasan Haji Samanhudi mendirikan
organisasi ini. Pada tahun 1906 kata “dagang” dibuang dari nama organisasi,
karena dianggap kurang tepat jika Sarekat Islam ingin mencangkup seluruh
lapisan masyarakat. Ide dan asas perjuangan Sarekat Islam adalah ide dan asas
kerakyatan. Sarekat Islam berjuang untuk rakyat miskin dan hidup sengsara.
Meskipun para pemimpin SI kebanyakan berasal dari keturunan bangsawan, namun
tidak menjadi halangan bagi mereka untuk melenyapkan kemiskinan dari tanah air.
Ketiga,
asas sosial ekonomi, pada masa itu Belanda memberikan fasilitas dan monopoli perdagangan
kepada orang Cina yang mempunyai kedudukan sebagai warga negara kelas dua atau
yang dikenal dengan istilah Vreemde
Oorterlingen (golongan timur asing). Fasilitas dan monopoli yang
diterima orang-orang Cina tidak didapatkan para pedagang bumi putra, akibatnya
penguasaha-pengusaha bumi putra tidak mampu bersaing dengan pengusaha-pengusaha
Cina.
Melihat
realitas yang sedemikian rupa, Haji Samanhudi dan Tjokroaminoto memandang untuk
menghadapi monopoli kelompok Cina, seluruh potensi nasional khususnya muslim
harus dikerahkan untuk mempertahankan hak dan martabat bangsa Indonesia. Ketiga
aspek dasar ini terlihat jelas dalam perjalanan Sarekat Islam, karena ketiga
aspek ini selalu diamalkan organisasi selama masa pergerakan nasional.
Perkembangan Sarekat
Islam
Pada
awalnya Sarekat Islam didirikan oleh pedagang-pedagang Islam di Jawa Tengah
dengan maksud melawan persaingan pedagang-pedagang Cina. Pada tahun 1912 sempat
terjadi perdebatan antara Haji Samanhudi dan Tjokroaminoto, Haji Samanhudi yang
lebih disibukkan dengan kegiatan perdagangan kemudian menyerahkan tampuk
pimpinan kepada Tjokroaminoto. Pemimpin baru ini kemudian meluaskan ruang
lingkup organisasi ini melewati tujuan awal yang dianggap terlalu sempit,
menjadi tujuan luas yang mencangkup keseluruhan umat Islam Bumiputera dengan
tujuan menentang praktik kolonialisme Belanda. Dengan berlandaskan semangat Pan-Islamisme,
Sarekat Islam memulai pergerakannya.
Sejak
Sarekat Islam disahkan oleh notaris, organisasi ini terus berkembang dengan
pesat. Sarekat Islam telah bekerjasama dengan Muhammadiyah sejak 1913. Kedua
lembaga tersebut sejak awal berjuang bersma dalam wilayah yang berbeda.
Muhammadiyah membangun Islam dalam wilayah Sosial-Religio, sedangkan SI
memperjuangkan Islam melalui Jalur Politik. Pada tahun 1919 Sarekat Islam
mengklaim keanggotaan sebanyak 2 juta orang. Perkembangan Sarekat Islam yang
bisa dikatakan sangat cepat ini, dikarenakan sebagian besar orang Indonesia
pada waktu itu masih belum mempunyai artikulasi politik yang tinggi. Mereka
menganggap kehadiran Sarekat Islam sebagai simbol protes melawan keadaan yang
tengah berlangsung.
Selain
itu Sarekat Islam dalam hal cangkupan wilayah dan keanggotaannya yang lebih
luas dari Budi Utomo, juga menjadi alasan pertumbuhan pesat keanggotaan Sarekat
Islam. Jika Budi Utomo keanggotaannya hanya sebatas para priyayi yang terdapat
di Jawa, maka Sarekat Islam lebih luas lagi dari itu, mereka mencangkup
keanggotaan hingga ke luar pulau Jawa. Orang-orang Bumiputera yang masih kental
dengan adat kejawen, menganggap Tjokroaminoto sebagai penjelmaan ratu adil,
sehingga menyebabkan orang-orang pedesaan berbondong-bondong bergabung dengan
organisasi ini.
Saat
SI mulai melebarkan sayap organisasi, Gubernur Jenderal Idenburg secara
hati-hati mendukung Si, dan dia memberi pengakuan resmi kepada SI. Meskipun
demikian, dia hanya mengakui organisasi-organisasi Sarekat Islam lokal tersebut
sebagai suatu kumpulan cabang-cabang yang otonom saja daripada sebagai suatu
organisasi nasional yang dikendalikan oleh markas pusat pusat organisasi.
Akibatnya pusat organisasi Sarekat Islam kesulitan untuk mengatur
organisasi-organisasi daerah itu, sehingga konsolidasi pun sulit dilaksanakan.
Pengesahan
terhadap SI beserta syarat-syarat kelembagaannya diterima dengan baik oleh
Tjokroaminoto sebagai pemimpin SI. Melihat kenyataan yang dapat meruntuhkan
keberadaan SI, Tjokroaminoto mengadakan kongres Nasional SI pertama pada 17-24
Juni 1916 yang bertempat di Bandung. Kongres tersebut membentuk Central Sarekat
Islam (CSI). CSI dibentuk sebagai federasi dari berbagai SI lokal yang tersebar
di seluruh Indonesia.
Pasca
terbentuknya CSI, Tjokroaminoto melakukan kunjungan ke berbagai daerah untuk
membentuk organisasi SI lokal. Melalui kemampuan berpidato dan suaranya yang
berwibawa, Tjokroaminoto menjadi sosok panutan dalam SI. Hampir setiap warga
desa yang menggabungkan di dalam SI, selalu mengelu-elukan Tjokroaminoto
sebagai ratu adil. Sadar akan kemampuannya, Tjokroaminoto semakin luas
memprogandakan SI di berbagai daerah Indonesia.
Selain
Tjokroaminoto, terdapat beberapa tokoh penting SI yang juga melakuakn hal
seripa, seperti Raden Gunawan, Abdul Moeis, Serta Haji Agus Salim. Raden
Gunawan melakuakan propaganda di Jawa Barat hingga Sumaera Selatan. Abdul
Moeis, melakukan propaganda di Sumatera Barat. Haji Agus Salim, melakukan
propaganda ke berbagai daerah di Indonesia, selain melakukan propaganda Haji
Agus Salim juga memperkuat basis ideologis kelembagaan SI.
Seiring dengan perkembangan Sarekat Islam,
ideologi Sosialis juga mengalami perkembangan di Indonesia. Sosialisme di
Indonesia yang disebarkan oleh propagandis Belanda seperti: Sneevliet,
Barandesteder, Ir. Baars, Brigsma, dan Van Burink. Mereka membentuk organisasi
pergerakan sosialis Indische Sociaal Democratische
Vereeniging (ISDV) di Semarang. Untuk memperjuangkan kepentingan
buruh, ISDV kemudian membentuk Vereeniging
voor Spoor en Tramweg Personeel (VSTP).
Pergerakan yang dilakukan kaum sosialis ini,
ternyata menarik simpati para anggota SI, sehingga beberapa anggota SI turut
serta menjadi anggota ISDV dan VSTP. Dimulai dengan munculnya Semaoen yang
merupakan anggota VSTP sebagai ketua SI Semarang, diikuti masuknya para anggota
SI yang lain ke dalam organisasi-organisasi tersebut, hal ini tentu saja
memperkuat posisi kaum sosialis. Sosialis menjadi wacana baru bagi para anggota
Sarekat Islam, selain Pan Islamisme. Munculnya kaum sosialis di dalam Sarekat
Islam menimbulkan suatu intrik ideologi di dalam SI, yang akan dibahas dalam
point tersendiri.
Pada tahun 1921, Sarekat Islam mengubah
namanya menjadi Partai Sarekat Islam. Perubahan nama ini didasari untuk
memperkuat nilai ideologis serta transformasi menjadi organisasi pergerakan
modern yang bergerak di jalur politik dengan ideologi Sosialisme Islam. Dengan
munculnya ideologi sosialisme yang dikembangkan oleh PSI, pada tahun 1930 PSI
kembali merubah namanya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Perubahan nama ini bertunjuan untuk memantapkan dasar ideologis partai.
Sejak dilakukannya strukturisasi PSII, posisi
pemimpin digantikan oleh kelompok muda seperti Abikoesno Tjokrosujoso (adik
Tjokroaminoto), dan dibantu oleh Sihabuddin Latif, W. A. Rohman, dan lain-lain.
Di bawah kepemimpinan Abikoeno, PSII secara tegas memberlakukan politik hijrah
dan melaksanankan sikap non-kooperasi terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Abikoeno mendapat reaksi dari berbagai pihak, karena terlalu kaku dalam
memaknai politik hijrah dan sikap non-kooperasi terhadap pemerintah.
Sikap non-kooperasi PSII berakhir pada tahun
1942, seiring dengan berhasilnya Jepang mengusir Belanda. Jepang melakukan
penghapusan lembaga-lembaga yang dibentuk pada masa pemerintahan Belanda. PSII
termasuk organisasi yang dihapus pemerintah Jepang pada masa itu. Jepang hanya
memberi kelonggaran kepada Majelas Islam A’la Indonesia (MIAI) sebagai federasi
umat Islam yang telah dibentuk PSII pada 1930. Meskipun telah dibubarkan
perjuangan anggota PSII terus berlanjut di MIAI, mereka mengupayakan
pembentukan Bait al-mal (rumah zakat). Namun, sebelum rumah zakat berhasil
terbentuk, pemerintah Jepang membubarkan MIAI pada tahun 1943.
Pada perumusan dasar negara, Sarekat Islam
masih menurunkan kadernya dalam pembentukan tersebut. Salah satunya adalah
Abiekoesno yang menjadi anggota panitia sembilan. Sehingga kader-kader Sarekat
Islam masih terus berjuang meskipun wadah organisasinya telah dibubarkan.
Semangat Pan-Islamisme Sarekat
Islam
Semangat Pan-Islamisme yang dipelopori oleh
Turki Utsmani, ternyata dibawa oleh para Haji yang kembali ke tanah air setelah
menunaikan ibadah haji di Mekah. Para haji yang telah bermukim di Mekah
menyaksikan pentingnya wacana Islam dan politik bagi mereka. Melalui para haji
yang pulan ke daerahnya masing-masing ikut menyebarkan semangat Pan-Islamisme
ke berbagai penjuru daerah. Semangat Pan-Islamisme telah menarik simpati
kalangan umat Islam Indonesia untuk bersatu di bawah panji-panji Islam dan di
bawah naungan Turki Utsmani.
Semangat kebangkitan Islam yang dibawa oleh
para haji tersebut menjadi media untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam di
Indonesia. Hubungan semangat Pan-Islamisme dan pembentukan Sarekat Islam, sudah
terlihat sejak pendirian SI. Hal ini terbukti dengan para tokoh SI yang
melakukan kontak dengan Turki. Turki sangat mendukung perjuangan SI dalam
memperjuangkan kependingan Islam bumiputera untuk melawan kolonialisme Belanda.
Pan-Islamisme tidak sekedar menginspirasi
terbentuknya persatuan bumiputera dan umat Islam Indonesia, melainkan menjadi
penguat basis ideologis Islam dalam membentuk persatuan Islam Nasional. Pada
tahap ini, semangat gerakan Pan-Islamisme semakin tampak menjadi bagian penting
dalam perjuangan Sarekat Islam.
Pasca Tjokroaminoto membentuk CSI,
Tjokroaminoto beserta para aktivis SI lainnya kembali menyuarakan Islam sebagai
basis pergerakan SI. Gagasan Islam yang disuarakan oleh Tjokroaminoto seperti
halnya pedang bermata dua. Satu sisi, Islam dijadikan sebagai isu untuk
mengikat kembali para pemodal asal Arab dan keturunannya yang sejak 1914 keluar
sebagai donatur tetap SI. Di sisi lain, Tjokroaminoto menggunakan Islam sebagai
media pengikat bumiputera untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan
Belanda. Sehingga jelas sudah peran vital semangat Pan-Islamisme dalam gerakan
Sarekat Islam.
Perpecahan di Tubuh Sarekat
Islam
Pada tahun 1917, pasca revolusi Bolshevik
pada bulan Oktober, Sneesvliet selaku pengasuh para aktis SI menarik ISDV
menjadi sebuah organisasi yang lebih radikal. Pada 23 Mei 1920, secara resmi
ISDV merubah bentuk menjadi PKI. Sejak terbentuknya PKI, para kader SI yang
sebelumnya juga anggota ISDV melebur dalam PKI. Para anggota Sarekat Islam
dengan keanggotaan ganda ini berpusat di Semarang.
Ketika kongres tahun 1921 berlangsung, arah
pembicaraan justru terfokus pada ideologi perjuangan. Masing-masing pihak
saling bersikukuh terhadap arah perjuangan melalui keyakinan ideologi
masing-masing. Darsono dan kawan-kawan (Semaoen berada di Rusia) sebagai wakil
dari SI Semarang, tetap bersikukuh terhadap ideologi Komunisme dan Islam hanya
menjadi simbol agama. Sedangkan Tjokroaminoto, Agus Salim, Moeis, serta
Suryopranoto tetap pada pendirian awal yaitu Islam tetap menjadi ideologi dan
cita dasar pergerakan SI dalam menentukan dasar kebangsaan menuju Indonesia
yang merdeka.
Cita dasar pergerakan SI Semarang berpijak
pada dua kaki yang masing-masing tergabung dalam lembaga yang berbeda, ternyata
menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam tubuh organisasi. Model ideologi
Komunis dinilai sangat bertentangan dengan ide dan gagasan Tjokroaminoto dan
Agus Salim. Perdebatan terus berlanjut, berbagai kecaman dari kedua belah terus
muncul, sehingga tidak menemukan persamaan di antara keduanya. Dari konflik ini
bahkan muncul sebutan nama SI Putih dan SI Merah.
Untuk menghindari perselisihan lebih lanjut,
dan keinginan untuk melanjutkan perjuangan Sarekat Islam menentang kolonialisme
Belanda. Akhirnya mempertegas keinginan Agus Salim, Moeis, dan Suryopranoto
untuk mengakhiri hubungan dengan SI Semarang, dengan cara mengesahkan
disiplinin partai yang telah disepakati oleh para peserta kongres lainnya.
Pihak SI Semarang yang telah memprediksi
hasil keputusan tersebut tetap tenang dan menerima hasil keputusan tersebut.
Disiplin partai sendiri berisi himbauan untuk memilih salah satu lembaga bagi
anggota SI yang sebelumnya memiliki keanggotaan ganda dengan PKI. Agus Salim
dan Moeis menerapkan disiplin partai dalam SI untuk menghilangkan unsur
ideologi Komunis yang telah menyebar dalam SI Semarang dan beberapa SI di
sekitarnya.
Dengan berlakunya disiplin partai, sekaligus
menyingkirkan anggota SI yang mempunyai keanggoaan ganda. Beberapa kelompok
yang telah menentukan sikap keluar dari SI adalah SI Semarang, Kudus, Ambarawa,
dan Sukabumi. SI Semarang dan beberapa cabang yang mendukungnya merubah nama
menjadi Sarekat Rakyat, dan tetap melebur di dalam PKI.
Sarekat Islam dan Sosialisme
Islam
Perpecahan yang sempat muncul di dalam
Sarekat Islam, membutuhkan proses restrukturisasi dalam kelembagaan. Pada tahun
1923 tepatnya pada kongres ketujuh Sarekat Islam, memutuskan untuk membentuk
organisasi pergerakan baru yang secara tegas bergerak di jalur politik dengan
membentuk Partai Sarekat Islam (PSI). Dalam Kongres ini juga menetapkan secara
tegas sosialisme Islam sebagai ideologi organisasi.
Dalam Kongres ketujuh ini Tjokroaminoto juga
menjelaskan, dapat ditarik suatu garis lurus antara Islam dan Sosialis. Nilai
Sosialisme di sini mempunyai arti terciptanya sebuah masyarakat yang adil tanpa
penindasan satu oleh lainnya, serta terwujudnya sama rasa dan sama rata. Perlu
diketaui, usaha yntuk menuju tujuan tersebut tidak serta merta seperti yang
dipikirkan para pemikir Sosialisme Barat, melainkan sebuah perwujudan kehidupan
sama rata yang didasari oleh nilai-nilai ketauhidan, serta sebuah sistem
sosial, budaya, ekonomi, dan politik sebagaiman yang telah dicontohkan Nabi
Muhammad Saw.
Pada konges al-Islam ke-2 tahun 1924 di
Garut, Tjokroaminoto menyerukan Sosialisme Islam kepada seluruh umat Islam,
sebagai landasan ideologis PSI menuju cita-cita Indonesia merdeka. Sosialisme
Islam bersandarkan pada al-Qur’an dan Hadis. Salah satu ayat yang menjadi dasar
utama Sosialisme Islam adalah “kaanan nasu
umatan wahidatan” yang artinya peri kemanusian adalah menjadi satu
persatuan. Islam dimaksudkan sebagai sebuah frame
untuk mengawal pergerakan nasional menuju kesempurnaan di akhirat dan
Sosialisme menjadi mesn penggerak menuju kesempurnaan kehidupan dunia. Sehingga
ideologi Sosialisme Islam digunakan untuk mencapai kesempurnaan dunia dan
akhirat.
Demikianlah Pergerakan Nasional Sarekat Islam
Semoga Bermanfaat, Terima Kasih.
Dibuat Oleh : Amanah Cengkeh Padang
Semoga Bermanfaat, Terima Kasih.
Dibuat Oleh : Amanah Cengkeh Padang
No comments:
Post a Comment