Perang Aceh Dan Sebab Terjadinya Beserta Jalannya Perang dan Akhir Perang Aceh

PERANG ACEH


1.   Sebab Terjadinya Perang Aceh

 1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
 2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
 3.Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
 4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
 5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
 6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
 7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

2. Jalannya Perang Aceh
Belanda merasa tidak puas terhadap hubungan antara Aceh dengan Konsul Italia dan Amerika Serikat di Singapura itu berusaha untuk mendapatkan keterangan dari Aceh tentang terjalinnya hubungan tersebut. Tetapi Aceh menolak untuk memberikan keterangan, akhirnya Belanda mengumumkan perang dengan Aceh. Kerajaan Aceh yang menyadari akan adanya bahaya dari Belanda itu mempergunakan siasat perang Gerilya. Perang Gerilya Aceh cukup berhasil karena didukung oleh keadaan alamnya. Pihak Belanda mendapat perlawanan yang seimbang. Begitu pula ketatanegaraan Aceh yang sulit dan tidak diketahui oleh Belanda, sangat membingungkan siasat perang Belanda.
Pada tahun 1873, pasukan Belanda yang pertama dengan kekuatan 3800 orang dapat dibinasakan oleh pasukan rakyat Aceh. Jendral Kohler yang memimpin pasukan tersebut dapat di bunuh, sehingga serangan Belanda itu mengalami kegagalan. Kemudian menyusul pasukan Belanda dengan kekuatan 8000 orang di bawah pimpinan Jendral Van Swieten. Pasukan ini berhasil merebut Kotaraja. Setelah Istana jatuh ketangan Belanda, tidak lama kemudian Sultan Aceh wafat, namun semangat rakyat Aceh di bawah pimpinan Panglima Polim tetap tegar menentang kedatangan Belanda.
Serangan – serangan Belanda sering membuahkan kemenangan. Belanda, dibawah pimpinan Jendral Van der Heyden, dapat merebut Aceh Besar pada tahun 1874. sejak itu pemerintahan militer diganti dengan pemerintahan sipil. Penggantian sistem pemerintahan ini bertujuan untuk menghentikan peperangan, karena Belanda berpendapat, perang akan dapat dihentikan dengan jalan mengadakan pembangunan. Namun rakyat Aceh tetap mengobarkan semangat perang sehingga perang semakin bertambah hebat. Pertempuran bertambah hebat. Kekejaman dan kezaliman akibat perang menimbulkan kebencian di kedua belah pihak. Para pemimpin agama Aceh menyerukan Perang Jihad fi Sabilillah (Perang Suci di jalan Allah). Pasukan Belanda tidak pernah mengadakan serangan secara besar-besaran. Pasukan Belanda hanya berkuasa di sekitar Kotaraja padahal Belanda telah berperang dengan rakyat Aceh selama 11 tahun. Seorang Panglima yang terkenal yaitu Teungku Umar, dengan siasat perang yang dimilikinya mengatakan bahwa Belanda tidak dapat dikalahkan tanpa perlengkapan senjata yang memadai. Oleh karena itu, Teungku Umar menyerah pada Belanda tahun 1893 dengan tujuan hanya untuk mendapatkan perlengkapan persenjataan. Setelah mendapatkan persenjataan, pada tahun 1896 ia meninggalkan tentara Belanda dan bersatu dengan pejuang rakyat, sehingga serangan-serangan peuang Aceh terhadap Belanda semakin berbahaya. Di pihak lain muncul perlawanan-perlawanan yang bersifat kagamaan dibawah pimpinan seorang ulama (Teungku), yaitu Teungku Cik Di Tiro. Golongan ini menentang kedatangan Belanda yang dianggap akan meyebarkan agama Kristen di Aceh. Di samping itu, mereka tidak mengenal kompromi atau mudah menyerah kepada Belanda, bahkan mereka berpendapat bahwa perang yang dilancarkan merupakan perang Jihad (perang suci didasarkan pada agama). 
Belanda yang sudah kewalahan menghadapi serangan-serangan Aceh, akhirnya mengirim Dr. Snouch Hurgronje untuk menyelidiki tata Negara Aceh. Dari penyelidikannya itu yang ditulis dengan judul De Atjehers (Dalam Bahasa Inggrisnya The Achnese) dapat diketahui letak kelemahan dan kunci rahasia, baik yang berhubungan dengan tata Negara, kepercayaan, adapt maupun siasat perang dan sebagainnya. 

 3. Akhir Perang Aceh
Berdasarkan pengalaman Snouch Hurgronje, pada tahun 1899, Belanda mengirim Jenderal Van Heutsz untuk mengadakan serangan umum di Aceh Besar, Pidie dan Samalanga. Serangan umum di Aceh itu dikenal dengan Serangan Sapurata dari pasukan Marchausse (arsose) dengan anggota pasukannya erdiri dari orang-orang Indonesia yang sudah dilatih oleh Belanda. Pasukan inilah yang benar-benar telah mematahkan semangat juang para pejuang Aceh. Dalam serangan itu banyak putra-putra Aceh yang gugur. Sambil memberi perlawanan yang sengit, rakyat Aceh mundur ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman, Belanda mengirim pasukannya di bawah pimpinan Jendral Van Daalen. Rakyat Aceh ternyata tidak siap dan kurang perlengkapan sehingga laskar menjadi kocar-kacir dan terpaksa lari mengundurkan diri dari Medan pertempuran Gerilya. Dalam waktu singkat Belanda merasa berhasil menguasai Aceh. Kemudian Belanda membuat Perjanjian Pendek, dimana kerajaan-kerajaan kecil terikat oleh perjanjian ini. Kerajaan-kerajaan kecil itu tunduk pada Belanda dan seluruh kedudukan politik diatur oleh Belanda, sehingga masing-masing kerajan daharuskan untuk:
Mengakui daerahnya sebagai bagian dari kekuasaan Belanda Berjanji tidak akan berhubungan dengan suatu pemerintahan asing Berjanji akan menaati perintah-perintah yang diberikan oleh pemerintah Belanda Perjanjian pendek juga bertujuan untuk mengikat raja-raja kecil atau mengikat kepala-kepala daerah. Pemerintahan Belanda juga mengikat raja-raja yang besar kekuasaannya, diantaranya Deli Serdang, Asahan, langkat, Siak, dan sebagainya dengan suatu perjanjian.  Demikianlah perang yang terjadi di Aceh yang mengorbankan putra-putra tanah Aceh seperti Teungku Umar, Panglima Polim, eungki Cik di Tiro, Tjut Nyak Dien, Tjut Mutiah, Tuanku Muhammad Dawodsyah dan rakyat Aceh yang dapat kita anggap sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Demikianlah Perang Aceh
Semoga Bermanfaat, Terima Kasih
Dibuat Oleh : Amanah Cengkeh Padang



No comments:

Post a Comment

Entri Populer